Menjadi Ibu di Benua Biru
- Nadia Aulia
- Aug 7, 2024
- 10 min read
"Kebisingan yang hening"
Perasaan itulah yang sering aku rasakan sehari-harinya. Anak yang berteriak memanggil Mama tanpa henti, panci dan wajan berasap, dan musik anak-anak mengalun dari Toonie box. Sedangkan aku bergerak tenang seperti robot. Sambil mengaduk sup, melihat jam di dinding, menenangkan buah hatiku dengan terus mengulang sebuah mantra, "sebentar ya, Mama masak dulu!" Begitulah sekilas keseharianku sebagai Ibu di Jerman.
Jika boleh aku jujur, pengalaman hamil, melahirkan, dan membesarkan anak di Jerman adalah hal yang sangat istimewa. Tentunya banyak tantangan yang dihadapi dan terkadang aku merasa "tidak siap" untuk peran ini. Tidak siap karena aku tidak dilahirkan dan dibesarkan di Jerman. Tidak siap karena aku tak dididik untuk mengemban tugas ini. Namun takdir membawaku hidup di benua Eropa dan takdir memberikanku buah hati yang lahir di sini.
Tentunya banyak sekali hal yang perlu dipersiapkan untuk menyambut sang buah hati. Saat aku tahu bahwa aku sedang hamil, rasanya sangat campur aduk; senang, bahagia, takut, dan juga cemas. Jika aku dapat memutar waktu kembali hal yang akan kulakukan adalah: worry less, eat & sleep better, and think positively! Sangat mudah diucapkan, tapi tak mudah dilakukan. Namun jangan kuatir, karena kita semua dapat belajar dari orang lain. Kalianpun dapat belajar dari segala kegagalanku dan menjalani peran ini jauh lebih baik dariku.
Kehamilan dan Kelahiran
Selamat atas kehamilannya, Moms! Tentunya, saat hamil pertama kali sangatlah wajar jika kita merasa cemas. Tubuh yang kita kenal harus kita bagi dengan jiwa yang lain. Beberapa ibu diberkahi dengan kehamilan yang mudah, sedangkan ibu-ibu yang lain merasakan betapa lelah dan susahnya mengandung. Jika aku kembali mengingat masa itu, ada saat di mana aku ingin cepat-cepat melahirkan, karena aku berpikir semuanya akan lebih mudah. Kenyataanya, hamil, melahirkan dan membesarkan anak itu samasekali tidak mudah. Parahnya lagi, seringkali kita tidak tau apa yang harus dilakukan dan dipersiapkan untuk menjalani kehamilan dan kelahiran yang sehat. Maka dari itu, aku ingin membagikan beberpa tips sesuai dengan kapasitasku. Tips ini aku dapatkan dari ibu-ibu lain yang lebih berpengalaman, riset, dan juga ilmu yang aku peajari dan terapkan saat hamil.
Makanan bergizi dan living an active lifestyle Asupan nutrisi sangat penting sekali bagi setiap manusia terlebih bagi ibu mengandung. Sebagai penderita PCOS, aku berhasil hamil saat aku mengubah pola makan dan menjalani hidup sehat. Saat itu aku menjalani keto diet, diet yang tinggi protein dan rendah gula. Saat itu aku rutin menggunakan food dairy dan hanya mengkonsumsi makanan dengan kadar low glycemic index. Cotoh kecilnya, aku mengganti nasi putih dengan lentil. Aku tidak makan gula dan mengganti sumber energi dari daging (lean meat). Aku menjalani lifestyle tersebut dengan rutin selama tiga bulan. Di awal kehamilanpun, aku mengkonsumsi beberapa vitamin, seperti zat besi dan folate. Selama kehamilan aku mengkonsumsi vitamin Femibion, vitamin D, dan juga tambahan Omega 3 untuk kecerdasan otak sang buah hati. Di awal kehamilan, terkadang aku merasa mual dan lemas. Untuk mengembalikan tenagaku, aku sering mengkonsumsi permen jahe (ginger bonbon). Jahe sendiri terbukti dapat meredakan inflamasi dan mual. Terkaang aku juga meneyempatkan tidur siang 30 menit di saat jeda bekerja. Aku tak pernah absen untuk berolahraga kecil, termasuk pregnancy yoga atau berjalan-jalan sore sembari merenggangkan otot. Makanan yang bergizi dan olahraga ringan yang cukup, sangatlah penting untuk mensupport kehamilan kita, karena jabang bayi membutuhkan banyak nutrisi dan aliran darah yang lancar. Kegiatan fisik, juga membantu tubuh kita untuk meregulasi emosi dan mempersiapkan mental saat melahirkan.
Delivery is a physical & mental sport Salah satu kesalahan terbesarku saat mempersiapkan kelahiran adalah terlalu terfokus pada hal kecil seperti nipple shield, korset, dan botol susu. Kenyataanya, melahirkan adalah olahraga fisik dan mental yang perlu dipersiapkan jauh-jauh hari. Semakin hari banyak kita temui kasus gestational diabetes, preeclampsia, dan kelahiran cesar yang tidak direncanakan. Dan saat aku amati, faktor terbesar yang mempegaruhi hal tersebut adalah kesehatan fisik dan mental ibu saat mengandung. Aku sangat bersyukur bisa didampingi oleh bidan sepanjang kehamilan dan kelahiran, beliau mengajarkanku tentang Louwen diet (diet gula) sebelum kelahiran, olahraga pelvik, olahraga pernapasan, dan cara mengembalikan pelvik pasca kelahiran. Mengapa diet gula? Selain kadar gula dalam darah dapat menyebabkan hipertensi, gula juga dapat mengurangi resistensi kita terhadap rasa sakit. Intinya gula dapat membuat kontraksi menjadi lebih menyakitkan. Untuk itu diet yang rendah gula di saat akhir kehamilan dapat memperlancar proses kelahiran. Jika kalian menetap di Jerman, sangat penting untuk mencari Hebamme (bidan), mendaftarkan diri untuk mengikuti Geburtvorbereitungskurs (kelas persiapan kelahiran) dan Rückbildungkurs (kelas postpartum). Biaya-biaya tersebut sepenuhnya akan di cover oleh asuransi kesehatan kita di Jerman. Aku juga sangat bersyukur, tidak ada kekuatiran finansial, karir, dan hubungan rumah tangga selama kehamilan dan kelahiran. Bayangkan betapa banyak ibu-ibu hamil yang harus mengkhawatirkan hal lain yang tidak perlu. Semua tekanan itu adalah stressor yang dapat menghambat proses kelahiran. Saranku: komunikasikan masalah yang ada di dalam diri kita. Sangat normal jika kita memiliki childhood trauma yang ingin kita sembuhkan. Sembuhkanlah hal tersebut dan lepaskanlah apapun yang terjadi di luar kuasa dan kontrol kita. Ini adalah saatnya untuk kita berfokus pada diri kita dan apa yang terjadi di dalam tubuh kita. Let all the stressors go, listen to your body and your baby. Your body is made for this and you can deliver your baby safely into this world. You got this, Mama!
Mengurus Newborn
Selamat atas kelahirannya! You moved a mountain to reach this milestone. Bagi ibu-ibu yang mengalami masa itu, kita pasti tahu betapa menyakitkannya kontraksi. Betapa beratnya mendorong bayi lahir ke dunia ini. Jika aku dapat mendeskripsikan pengalaman itu, rasanya seperti berselancar di lautan listrik. Kontraksi datang seperti ombak, dan saat mereka datang kita harus mengejan. Hingga pada titik tertentu, kita sudah pasrah, berserah, dan terus mengejan.. dan keluarlah tangisan kecil itu. Tangisan yang bukan tangisanku, tapi seolah mengerti penderitaanku.
Itulah hal yang aku rasakan saat pertama kali mengenal Baby V. Mengapa mengenal? Di Jerman, terdapat istilah kennenlernenzeit (waktu untuk mengenal buah hati) yang artinya waktu bagi ibu dan bayi untuk saling mengenal dan belajar tentang satu sama lain. Enam minggu pertama adalah waktu bagi ibu untuk belajar menyusui, mengganti popok, serta menenangkan bayi saat mengantuk, sakit, atau ketakutan. Bayi kitapun harus bertransisi dari kehidupan di dalam perut yang hangat dan nyaman ke dunia kita yang bising, dingin, terang, dan penuh stimulasi. Aku juga telah menulis pengalamanku tentang menyusui di sini.
Salah satu hal yang sangat detrimental di fase ini adalah kesehatan ibu dan bayi. Terdengar sangat klise, namun pola makan, pola tidur, serta aktivitas keseharian sangat menentukan kestabilan emosi ibu dan anak secara jangka panjang. Aku sering sekali mendengar kisah, "Ibu merasa lelah", "Ibu merasa hampir gila". Benang merah yang kutangkap adalah rata-rata ibu baru ini mengurus anak sendirian di rumah, minim kontak sosial dengan masyarakat sekitar, dan tidak ada support system yang memadai karena berada jauh di perantauan. Untuk menyikapi hal ini, sangat penting bagi ibu baru untuk selalu menjaga makan, bersosialisasi, dan menyesuaikan jam tidur dengan bayi. Salah satu hal yang membantuku melewati masa ini adalah dengan jalan-jalan keluar rumah dengan tetanggaku yang memiliki bayi seumuran dengan Baby V. Walaupun saat ini kami tidak bertetangga lagi, namun aku akan selalu mengingatnya dan berterimakasih karena sudah menjadi teman berkeluh kesah. Jika kamu adalah ibu baru di Jerman yang butuh tempat curhat, silahkan tulis email / pesan padaku. Aku akan dengan senang hati menyambungkan ke group Moms Support Moms Indonesia di Jerman.
Mencari Kindergarten/ Tagesmütter
Mirip seperti mencari kawan, mencari daycare (Kindergarten / Tagesmütter) juga penuh dengan faktor keberuntungan. Tidak asing jika kita mendengar para orang tua di Jerman sudah mendaftarkan anak mereka ke TK di hari pertama kelahiran. Kamipun sudah medaftarkan Baby V tepat seminggu setelah ia lahir. Sayangnya, kami tinggal di kawasan perumahan baru saat itu. Sekitar seribu keluarga tinggal di perumahan baru ini dan hampir setiap keluarga memiliki anak usia sekolah, bayi, dan balita. Setelah setahun berjibaku dengan administrasi kota untuk mendapatkan hak kursi TK bagi Baby V, kami memutuskan untuk pindah ke lingkungan yang lebih tidak padat penduduk demi mendapatkan tempat bagi Baby V. Sebelum pindah, aku sudah mensurvei semua tempat di sekitar kota Düsseldorf yang memenuhi kriteriaku (banyak TK, dekat dengan alam, transportasi cepat ke pusat kota, dan harga sewa masih wajar). Tak hanya mendaftarkan Baby V ke berbagai TK di Kita Navigator, aku juga menelpon dan berkonsultasi dengan beberapa Familienberater (konsultan keluarga) dari beberapa institusi seperti AWO, SKFM, dan Tagesmutter di sekitarku. Silahkan membaca website mereka terlebih dahulu dan jangan sungkan untuk menelpon mereka secara langsung. Berdasarkan pengalamanku mereka sangat senang jika ada keluarga yang ingin berkonsultasi dengan mereka dan mereka sangat membantu untuk menemukan tempat-tempat TK yang kadang tidak di post di Internet.
Puji syukur karena kontak tersebut, kami dikuatkan dan dikenalkan dengan banyak orang lain. Saat pendaftaran sekolah, akupun memberanikan diriku untuk mengajak bertemu kepala TK dan berkenalan langsung dengan para kepala TK. Dari beberapa tempat yang kami kunjungi, akhirnya kami mendapatkan TK yang kami inginkan untuk baby V. Jaraknya sekitar 500 meter dari rumah, bangunan TK nya pun masih baru, dan para pendidiknya juga masih muda. Pelajaran yang aku petik adalah, parents networking is as important as job-related networking.
Mengurus Dokumen: Kindergeld, Elterngeld, Paspor
Salah satu hal yang paling aku benci adalah urusan birokrasi; mengumpulkan dokumen, membaca persyaratan yang njelimet, waktu tunggu yang lama, serta pelayanan petugaspun terkadang tidak maksimal. Namun sebagai penduduk berpaspor hijau yang tinggal di benua biru, birokrasi adalah sahabatku. Dia akan selalu ada di setiap milestone penting dalam hidupku. Maka dari itu aku selalu berusaha untuk taat dan up to date terhadap perubahan peraturan. Baik peraturan Jerman ataupun peraturan Indonesia.
Sesaat setelah kelahiran, tepatnya dalam 3 bulan pertama kelahiran, aku dapat mengajukan permohonan Elterngeld (uang support orang tua yang mengurus anak). Besar tunjangan Eterngeld kira-kira 65% gaji netto atau maksimal 1800€ per bulan. Untuk mengurusnya, aku harus mengisi formulir serta menyertakan dokumen seperti surat lahir dari RS, slip gaji selama 12 bulan terakhir, dan surat dari employer yang menyatakan bahwa pemberi kerja akan menanggung sebagian gaji di tiga bulan pertama kelahiran. Setelah semua dokumen terkumpul, dokumen dikirimkan per post ke Familienkasse di masing-masing Bundesland (tidak semua Bundesland memiliki fasilitas Familienkasse digital pada saat itu 2022).
Selesai mengurus Elterngeld, kami juga perlu mengurus tunjangan anak (Kindergeld). Saat ini jumlah Kindergeld sekitar 250€ dan akan dibayarkan hingga anak berusia 21 tahun. Cara mengurusnya pun mirip seperti Elterngeld, dokumen yang dibutuhkan adalah surat keterangan lahir dari RS. Persyaratan lengkap dapat dilihat di sini.
Dokumen lain yang tak kalah penting adalah paspor. Untuk mengurus paspor Jerman, kami membutuhkan Anmeldugbestätigung (surat keterangan tinggal) Baby V, dokumen kewarganegaraan orang tua, dan kami harus mencantumkan bahwa Baby V adalah subjek dual citizenship. Untuk mengurus paspor Indonesia, kami membutuhkan paspor Jerman, surat pencatatan kelahiran dari KJRI, Anmeldungbestätigung, dan dokumen kewarganegaraan orang tua. Jujur, mengurus dokumen ini sangatlah menguras waktu, tenaga, dan biaya. Namun dokumen-dokumen ini penting bagi anak kita jika mereka ingin bepergian ke Indonesia atau memberikan peluang bagi mereka untuk memilih nasionalitasnya saat usia mereka menginjak 21 tahun. Persyaratan untuk mengurus paspor Jerman & Indonesia dapat dilihat di sini & sini.
Working, Caring, Nurturing?
Saat aku menjadi ibu, duniaku terasa terbalik. Bahkan hingga detik ini terkadang aku merasa bukanlah diriku sendiri. Aku merasa tak sepintar, tak setajam, dan tidak semuda dulu. Duniaku terasa runtuh saat aku menyadari bahwa kewajiban terbesarku saat ini adalah menjadi primary caregiver anak kami. Hari-hariku berlalu di luar kontrolku.
Lalu apakah salah jika aku ingin bekerja sebanyak yang aku mau? Apakah salah jika aku ingin berkarir, membangun bisnis, bersosialisasi, dan tak mengurus anak penuh waktu? Semua kenginan itu valid dan hal tersebut tidaklah egois karena berkarir adalah mimpi dan sumber kebahagianku. Namun di sisi lain, aku sadar bahwa hal itu tidaklah mungkin tanpa adanya support system di rumah tangga kami.
Terlebih lagi jika kalian tinggal di Eropa, sudah rahasia umum jika ibu bekerja menghadapi banyak tantagan secara professional dan personal. Walaupun Jerman nampak sangat supportif terhadap tumbuh kembang anak: parental leave hingga 3 tahun, tunjangan anak 250€ per bulan hingga 21 tahun, dst. Kenyataannya tak ada cukup TK di negara ini, biaya babysitter sangatlah mahal, dan jika anak mendaptkan tempat di TK belum tentu tempat itu selalu bisa diandalkan (Guru TK sering sakit dan TK sering tutup secara tiba-tiba).
Terlepas dari itu semua, ketakutan terbesarku adalah tidak mampu membuat pondasi yang bagus bagi Baby V. Selama ini aku melihat banyak sekali anak-anak yang tidak tumbuh maksimal secara psikologis karena minimnya kasih sayang di awal tumbuh kembangnya. Ini bukan berarti kita sebagai ibu harus meninggalkan pekerjaan impian kita, namun kita menyadari bahwa keluarga adalah prioritas utama.
For both mothers and fathers, we found that children’s emotional health was higher when parents believed that family should come first, regardless of the amount of time they spent working. We also found children were better off when parents cared about work as a source of challenge, creativity, and enjoyment, again, without regard to the time spent. And, not surprisingly, we saw that children were better off when parents were able to be physically available to them (Harvard Business)
Maka dari itu, saat menjadi Ibu di dalam perkawinan campur ini, aku menyadari bahwa aku harus menemukan keseimbangan antara ambisiku sebagai corporate girly, kewajibanku sebagai ibu berdarah Indonesia untuk memupuk identitas anakku, dan sparring partner suamiku yang kini memiliki lebih banyak mental pressure karena beliau adalah bread winner di keluarga kecil ini. Alih-alih mengejar ambisi, karirku adalah hobby dan challenge disamping tugas utamaku menjadi ibu. So, I am learning to enjoy the mediocracy of working part time while planning a longterm return when the times allowed (when my kid is a bit older).
Mengapa begitu? Salah satu alasan terbesarku adalah kualitas pendidikan anak.
Safe, stable, stimulating, loving interactions between an infant and a parent or caregiver promote optimal brain and body development in the first three years of life. (Parental-to-3 Policy).
Perkembangan otak dan mental anak sangat pesat di tiga tahun pertama. Jika masa ini terasa berat bagi ibu, itu bukanlah hal yang mengada-ada. Tiga tahun pertama kehidupan anak kita memanglah sangat berat! Tumbuh kembang fisik, nilai keluarga, kestabilan emosional anak, rasa percaya diri, dan resiliensi anak dipupuk di tiga tahun pertama ini. Sehingga tidak berlebihan jika aku bilang, inilah pekerjaan terpentingku saat ini. Pekerjaan yang lain dapat menunggu.
Lalu apakah perbedaan pendidikan anak di Eropa dan Indonesia? Perbedaan utamanya terletak pada nilai yang dipupuk. Di Indonesia anak diharapkan dapat memahami situasi sosial dan mengikuti perintah semenjak dini. Salah satu nilai utama yag dipupuk adalah harmoni. Sedangkan di Jerman, pendidikan anak bertitikberat pada kemadirian. Anak-anak diharapkan mandiri sedini mungkin. Sebagai ibu yang terekspos kedua kebudayaan ini, aku selalu berusaha mengimbangi dan mencari titik tengahnya. Bagiku sangat penting jika Baby V memiliki kepercayaan diri untuk melakukan hal yang dia inginkan sembari belajar untuk menangkap clue sosial di sekitarnya.
Lalu bagaimana caranya aku memupuk nilai itu? Aku membiarkan anakku untuk bereksplorasi sosial dengan anak dan orang dewasa lainnya. Aku selalu berusaha menimpali keinginannya untuk bermain agar dia dapat menemukan emotional reward dari interaksi sosial. Aku juga selalu mengajarkan norma-norma sosial di tempat umum. Misalnya, mencakar teman yang lain itu tidak baik, menendang Papa itu tidak sopan, dan mengajarkannya bilang terimakasih, tolong, hallo, dan bye. Aku juga mengajarkan untuk berkata maaf jika ia melakukan kesalahan. Tak hanya mengajarkan dengan lisan, menjadi teladan dari nilai-nilai yang ingin kami pupuk adalah hal paling natural untuk memupuk nilai itu.
Kelak saat anakku sudah beranjak preschool (4 tahun ke atas), mungkin prioritasku akan berubah. Mungkin aku akan memiliki lebih banyak waktu untuk bekerja, berbisnis, dan bersosialisasi. Aku berharap jika saat itu tiba, anakku bisa jadi lebih mandiri dan aku dapat berfokus untuk memupuk nilai berikutnya: bekerja keras dan mengejar mimpi. Mimpi-mimpi yang saat ini hanyalah angan... namun jika waktu itu tiba, aku siap untuk berlari mengejarnya.

Love, Mama N.
Comments