Merasa cukup
- Nadia Aulia
- Jul 20, 2022
- 3 min read
Seringkali kita dihadapkan dengan pendapat, saran, dan himbauan yang bertentangan. Ada yang berkata bahwa kita harus selalu merasa lapar akan ilmu dan kesuksesan. Tak sedikit pula yang berkata bahwa merasa cukup adalah kunci kesuksesan dan kebahagiaan.
Sebagai seoarang individu yang beranjak dewasa, kita dihadapkan dengan dilemma ini sepanjang hari. Namun pada hakikatnya tak ada yang benar ataupun salah karena pandangan kita adalah murni keyakinan kita.
Aku sendiri selalu merasa lapar. Lapar akan ilmu, pengalaman, dan juga produktifitas. Mungkin ini yang dinamakan “hustle culture”, di mana kita merasa bersalah jika tidak menghasilkan atau melakukan sesuatu.
Apakah itu hanya duduk diam dan menonton Netflix atau berbelanja lewat media sosial, semua itu terasa sangat menjemukan untukku. Aku lebih suka menulis, membersihkan rumah, menjahit, dan jika ada tenaga lebih memasak.

Jika semua itu telah kulakukan, aku akan bertanya pada diriku sendiri apakah aku telah merasa puas dengan pencapaianku hari ini? Lucunya, semakin hari pencapaian itu terasa semakin kecil.
Saat kita bersekolah, kita diajarkan untuk belajar tekun dan giat agar kita dapat meraih cita-cita kelak. Nyatanya dalam meraih cita-cita itu, jalan yang ditempuh tidaklah selalu mulus. Pesaing kita bukanlah teman sekelas kita, melainkan orang lain yang ilmu dan pengalamannya asing bagi kita. Terkadang pesaing terbesar kita adalah diri kita sendiri – yang meniupkan kalimat-kalimat keraguan.
Namun aku meyakini bahwa siapapun pesaing kita, ini adalah cerita perjuangan kita. Tak ada seorangpun di dunia ini yang dapat merasakan betapa berat perjuangan dan betapa manis kemenangan kita. Karena itulah persaingan menjadi tak ada artinya dan sekolah hanyalah masa lalu yang indah.
Tak jarang pula aku sudah merasa puas. Puas karena aku telah mendapatkan rasa aman yang selalu kucari-cari itu. Selama 30 tahun, aku tak pernah merasa kekurangan. Tak pernah terlilit hutang, tak pernah berurusan dengan aparat hukum, dan tak pernah merasakan ketakutan akan masa depan.
Entah itu perlindungan orang tua, perlindungan suami, atau perlindungan diriku sendiri, aku selalu merasa aman terhadap masa depanku. Hingga aku menyadari sesuatu, “Himbauan itu bukanlah sesuatu yang bertentangan! Perasaan lapar itu dibangun dari perasaan berkecukupan.”
Merasa cukup adalah perasaan yang selalu aku dapatkan sedari kecil. Ada cukup makanan, ada cukup mainan, dan ada cukup kasih sayang yang bisa dibagi ke semua orang. Jikalau dulu aku merasa iri dan harus bertengkar dengan adikku, orang tuaku akan menjadi hakim yang adil. Apapun yang kudapat, adikku mendapatkannya pula. Jikalau ada yang tersakiti, satu keluarga akan merasakannya.
Dari hal sekecil ini aku belajar bahwa merasa cukup adalah sebuah hakikat. Ia tak dipaksakan karena ia bertumbuh bersama jiwa kita. Ia menjadi identitas kita dan membentuk karakter kita sebagai manusia dewasa.
Namun jika kita menengok ke kanan dan ke kiri, tak semua orang memiliki pandangan ini. Entah karena pengalaman hidup yang berbeda ataukah karena karakter yang berbeda. Tak sedikit orang yang sangat terbuka dengan ambisinya dan menghalalkan segala upaya untuk mencapainya.
Tentunya perasaan lapar yang berlebihan itu menyakitkan. Menyakitkan bagi orang-orang yang merasakannya dan menyakitkan pula jika kita dituntut untuk menyeimbanginya.
Seharusnya impian adalah sesuatu yang indah untuk diperjuangkan. Impian bukanlah sesuatu untuk diperebutkan. Keinginan kita untuk terus belajar dan menjadi lebih sukses harusnya datang dari kesadaran dan pendewasaan kita.
Namun pada kenyataannya banyak sekali kesuksesan yang dihasilkan dari perasaan tak cukup, terkucilkan, pembalasan dendam, dan tentunya gengsi.
Perlu kuakui aku menjadi sangat sedih melihatnya. Bukan hanya karena cerita yang begitu kelam, namun juga imbas dari perasaan-perasaan negatif itu.
Hingga aku menyimpulkan: “Kebaikan itu bukanlah kelemahan. Air yang terus menetes akan menghancurkan batu yang kuat.”
Merasa cukup dan puas dengan segala pencapaian kita juga bukanlah kelemahan. Sedangkan tetap terbuka dengan hal baru adalah jalan menuju kesuksesan.
Perasaan lapar itu baik karena artinya jiwa ini terus bertumbuh. Namun perasaan lapar yang serakah seakan dunia ini tak memiliki cukup sumber daya adalah hal yang tak baik.
It is true that winners take it all but we are the winners at some point in time.
The world has enough for all of us – some people have more and others will have less. But if you feel sufficient, there is no point in taking more. It neither gives you more satisfaction nor happiness. Because, at the end of the day, people love you for who you are and not the shiny things you gained along the way.
Comments